
Kelompok I : Pelatihan Kepemimpinan Administrator Angkatan I Tahun 2025. Pusat Pembelajaran Strategi Kebijakan Pelayanan Publik (P2SKPP) Propinsi Kalimantan Timur.
Swaramediakaltim.com – Identitas bangsa Indonesia tidak terpisahkan dari semangat nasionalisme yang tumbuh dan mengakar dalam sejarah panjang perjuangan rakyat. Semangat itu lahir dari penderitaan bersama akibat penjajahan, dari tumpah darah yang dibayar mahal demi kemerdekaan, dan dari harapan kolektif untuk membangun negeri yang adil, merdeka, dan bermartabat. Nasionalisme bukan sekadar kenangan masa lalu, tetapi merupakan fondasi eksistensial yang menjadi penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini dan mendatang.
Pancasila, sebagai dasar negara sekaligus ideologi pemersatu, mengandung nilai-nilai luhur yang relevan lintas zaman. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bersifat normatif, melainkan menjadi acuan konkret dalam merumuskan arah pembangunan, perilaku kepemimpinan, dan etika berpolitik. Ketika dinamika sosial, ekonomi, dan politik semakin kompleks, maka revitalisasi kepemimpinan yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila menjadi kebutuhan mendesak untuk mengarahkan bangsa ini menuju cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya: kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan martabat bangsa yang dijunjung tinggi.
Kepemimpinan Pancasila bukan sekadar atribut formal yang dipajang dalam pidato atau dokumen resmi negara. Pemimpin yang benar-benar menjadikan Pancasila sebagai kompas moralnya akan menghidupkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial dalam setiap aspek pengambilan keputusan. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa menuntut pemimpin untuk memiliki integritas spiritual, menjunjung tinggi etika dan moral dalam menjalankan amanah. Nilai Kemanusiaan menekankan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia, kesetaraan, serta penghapusan diskriminasi dalam segala bentuknya. Nilai Persatuan mengharuskan pemimpin menjadi pengikat keberagaman, bukan pemecah belah. Nilai Kerakyatan mewujudkan kepemimpinan yang inklusif, mendengarkan suara rakyat, dan menolak dominasi segelintir elite. Nilai Keadilan Sosial menjadi landasan utama bahwa setiap kebijakan harus berpihak pada mereka yang paling membutuhkan.
Dalam kenyataan hari ini, banyak pemimpin kehilangan pijakan terhadap nilai-nilai dasar tersebut. Kebijakan publik lebih sering disandarkan pada kalkulasi politik jangka pendek, bukan pada visi jangka panjang yang berakar pada kesejahteraan rakyat. Kekuasaan dimanfaatkan sebagai instrumen untuk mempertahankan dominasi, bukan alat untuk memperbaiki nasib masyarakat. Ketika hal ini terjadi secara masif dan berulang, kepercayaan publik terkikis, rasa hormat terhadap institusi melemah, dan partisipasi masyarakat dalam demokrasi mengalami stagnasi.
Kepemimpinan sejati tidak tumbuh dari sorotan kamera atau riuh tepuk tangan kampanye. Ia lahir dari konsistensi dalam melayani, dari keberanian mengambil keputusan sulit yang berpihak kepada kebenaran, dan dari keikhlasan berbuat tanpa pamrih. Kepemimpinan Pancasila tidak menjadikan rakyat sebagai alat mobilisasi politik. Sebaliknya, pemimpin akan hadir sebagai representasi nurani rakyat, memperjuangkan keadilan, mendengar aspirasi, dan mengarahkan kebijakan agar senantiasa selaras dengan kebutuhan dan harapan masyarakat luas.
Tantangan kepemimpinan masa kini tidak hanya berasal dari dalam negeri. Globalisasi menghadirkan tekanan multidimensi: budaya, ekonomi, hingga ideologi. Pengaruh asing yang kuat, jika tidak disaring dengan bijak, berpotensi merusak jati diri bangsa. Nilai-nilai luar yang cenderung mengagungkan individualisme, liberalisme ekstrem, dan materialisme harus diimbangi dengan penguatan nilai lokal yang menjunjung gotong royong, kekeluargaan, dan kearifan nusantara. Pemimpin yang kuat secara ideologis akan mampu menyaring pengaruh luar, menyerap yang bermanfaat, dan menolak yang merusak. Pancasila dalam hal ini harus menjadi filter, bukan sekadar tameng.
Pemimpin dengan wawasan kebangsaan yang utuh akan merumuskan kebijakan yang adaptif terhadap perubahan, namun tetap berakar pada kepribadian bangsa. Dalam merespons perkembangan digital, disrupsi teknologi, dan geopolitik internasional, ia tidak kehilangan arah. Ia justru menjadikan perubahan sebagai peluang untuk memperkuat kedaulatan nasional. Ia tidak terjebak dalam euforia pembangunan yang mengabaikan lingkungan dan keadilan sosial. Ia sadar bahwa pembangunan yang sejati adalah pembangunan manusia yang utuh.
Pembentukan kepemimpinan seperti itu tidak bisa dilakukan melalui pelatihan singkat atau formalitas pendidikan elite. Proses ini harus dimulai sejak usia dini, melalui sistem pendidikan nasional yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan secara integratif dan menyeluruh. Sekolah tidak cukup hanya mencetak manusia cerdas, tetapi juga harus membentuk manusia yang sadar akan tanggung jawab sosial dan cinta tanah air. Keluarga sebagai institusi pertama dalam pendidikan juga harus diberdayakan untuk membangun karakter luhur. Media, baik cetak maupun digital, wajib memainkan peran sebagai agen literasi nilai, bukan hanya saluran informasi sensasional.
Anak muda sebagai penerus estafet kepemimpinan perlu dilibatkan dalam diskursus kebangsaan yang rasional dan membumi. Mereka harus diberi ruang untuk berkontribusi dalam proses pembangunan, diberi teladan yang nyata dari pemimpin yang bersih, dan dibimbing untuk memahami bahwa nasionalisme bukan ide lama, tetapi kebutuhan masa depan. Ketika generasi muda menginternalisasi nilai Pancasila, maka mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh ideologi-ideologi transnasional yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Krisis nilai yang muncul dalam masyarakat tidak dapat diatasi hanya dengan regulasi. Diperlukan gerakan moral yang dimotori oleh pemimpin-pemimpin teladan. Pemimpin yang tidak hanya mahir dalam retorika, tetapi juga kokoh dalam etika. Pemimpin yang mampu menyeimbangkan antara rasionalitas kebijakan dan empati kemanusiaan. Pemimpin seperti ini akan menjadi penjaga moral bangsa di tengah arus pragmatisme yang mengikis rasa tanggung jawab kolektif.
Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin yang lihai memainkan opini publik. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang mampu menjadi penuntun moral, penyambung harapan rakyat, dan penjaga integritas demokrasi. Pemimpin yang tidak takut kehilangan jabatan demi membela kebenaran. Pemimpin yang tidak tergoda untuk menjual kedaulatan demi keuntungan sesaat. Pemimpin yang sanggup berdiri di garda terdepan menjaga cita-cita kemerdekaan.
Revitalisasi kepemimpinan Pancasila harus dijalankan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Harus ada reformasi sistemik dalam pendidikan karakter, birokrasi yang bersih dan responsif, serta budaya politik yang lebih sehat. Kolaborasi antar elemen masyarakat, mulai dari tokoh agama, pendidik, jurnalis, pegiat budaya, hingga aparatur negara harus diperkuat untuk menciptakan ekosistem kebangsaan yang mendukung lahirnya pemimpin-pemimpin ideal.
Nilai-nilai Pancasila tidak akan pernah usang. Dalam dunia yang bergerak cepat dan terkadang kehilangan arah, Pancasila justru menjadi jangkar yang menguatkan pijakan bangsa. Jawaban atas tantangan kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, disintegrasi sosial, dan radikalisme tidak bisa dilepaskan dari keberanian kita untuk kembali kepada nilai-nilai asli bangsa sendiri. Dalam Pancasila, kita menemukan panduan tentang kepemimpinan yang bukan hanya efektif secara administratif, tetapi juga visioner, berkarakter, dan bermoral tinggi.
Dengan memperkuat kembali semangat kepemimpinan Pancasila, Indonesia akan mampu melangkah lebih percaya diri di tengah persaingan global. Bukan hanya sebagai negara dengan jumlah penduduk besar atau sumber daya alam melimpah, tetapi sebagai bangsa yang kuat karena nilai, kokoh karena prinsip, dan besar karena keteladanan para pemimpinnya.
Berikut adalah ringkasan isi opini “Nasionalismesebagai Fondasi Kepemimpinan Pancasila di Era Modern”
Aspek | Uraian Ringkas |
Makna Nasionalisme | Bukan warisan sejarah semata, melainkan napas kolektif bangsayang harus dihidupkan dalam kehidupan bernegara dankepemimpinan masa kini. |
Tantangan Sosial-Politik | Terjadi krisis moral, disorientasi pembangunan, dan lemahnyasolidaritas sosial akibat pragmatisme elite dan kehilangan arahnilai. |
Pemimpin NasionalisBerbasis Pancasila | Menginternalisasi Pancasila sebagai sumber etika publik; menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk melayani, bukan untukdilayani. |
Proses PembentukanKepemimpinan | Terbentuk dari pengalaman hidup, pembelajaran sejarah, daninternalisasi nilai-nilai luhur, bukan proses politik instan ataupencitraan. |
Keteladanan danKepercayaan Publik | Dibangun dari keselarasan antara ucapan dan perbuatan, sikaphidup sederhana, dan keterlibatan langsung dalam kehidupanrakyat kecil. |
Ancaman Budaya Digital | Generasi muda terpapar hedonisme dan individualisme; pemimpin nasionalis harus menggunakan media sosial sebagaialat edukasi nilai kebangsaan. |
Peran Pemimpin sebagaiJembatan | Menyambungkan rakyat dan negara, menghadirkan solusi konkretatas kesenjangan sosial, serta menunjukkan keberanian moral dalam bertindak adil. |
Keberanian Moral | Diperlukan untuk melawan korupsi, menolak kompromi nilai, danmemastikan kebijakan berpihak pada kepentingan publik, bukanhanya kekuatan modal. |
Dimensi Spiritual danEmosional | Pemimpin harus peka terhadap penderitaan rakyat dan mampumembuat keputusan berdasarkan suara hati nurani, bukankepentingan elektoral sesaat. |
Situasi dan Arah Bangsa | Indonesia berada pada titik kritis antara peluang kemajuan danancaman disintegrasi nilai. Arah ditentukan oleh kualitaskepemimpinan berlandaskan nasionalisme. |
Harapan terhadapKepemimpinan | Dibutuhkan pemimpin yang menjadi pengabdi rakyat, penjagamoral bangsa, pelindung keberagaman, serta penggerak keadilandan gotong royong. |
Karya oleh :
No | Nama Anggota | NDH |
1. | Amir Lufni, SE.,M.Si | 03 |
2. | dr. Rudy Agus Riyanto | 10 |
3. | Fachrujiansyah Bachsan | 15 |
4. | Irawan, ST.,M.Si | 25 |
5. | Tajudin Husen, ST., MM | 39 |
Editor : Vivie